Senin, 08 Desember 2014

ADIK KOS KAMAR SEBELAH

-==-

Aku kost di daerah Blimbing Malang, kamarku bersebelahan dengan kamar seorang remaja manis yang masih kecil, tubuhnya mungil, putih bersih dan senyumnya benar-benar mempesona. Dia remaja etnis Thionghoa dan murid SMP Katholik yang terkenal di kota Malang. Dalam kamar kostku terdapat beberapa lubang angin sebagai ventilasi. Mulanya lubang itu kututup dengan kertas putih…, tapi setelah cowok manis itu kost di sebelah kamarku, maka kertas putih itu aku lepas, sehingga aku dapat bebas dan jelas melihat apa yang terjadi pada kamar di sebelahku itu. Suatu malam aku mendengar suara pintu di sebelah kamarku dibuka, lalu aku seperti biasanya naik ke atas meja untuk mengintip. Ternyata cowok itu baru pulang dari sekolahnya…, tapi kok sampai larut malam begini tanyaku dalam hati. Cowok manis itu yang belakangan namanya kuketahui yaitu Herman, menaruh tasnya lalu mencopot sepatunya kemudian mengambil segelas air putih dan meminumnya…, akhirnya dia duduk di kursi sambil mengangkat kakinya menghadap pada lubang angin tempat aku mengintip. Herman sama sekali tidak bisa melihat ke arahku karena lampu kamarku telah kumatikan sehingga malah aku yang dapat leluasa melihat ke dalam kamarnya.

Dia mulai membuka baju dan celananya untuk berganti baju. Saat dia telanjang sejenak itu, terlihat jelas celana dalamnya yang putih dengan gundukan di tengahnya…, lalu saja tiba-tiba kontolku yang berada dalam celanaku otomatis mulai ereksi. Mataku mulai melotot melihat keindahan yang tiada duanya, apalagi ketika Herman lalu bangkit dari kursi dan mulai melepaskan celana dalamnya itu dan berganti celana dalam baru. Sebentar dia bercermin memperhatikan tubuhnya yang ramping putih dan tangannya mulai meluncur pada dadanya yang belum muncul otot-otot bisep trisep. Diusapnya dada dan putting payudaranya dengan lembut. Dipuntirnya pelan puting susunya sambil memejamkan mata, rupanya dia mulai merasakan nikmat, lalu tangan satunya meluncur ke bawah, ke celana dalamnya digosoknya dengan pelan, tangannya mulai masuk ke celananya dan bermain lama. Aku bergetar lemas melihatnya, sedangkan penisku sudah sangat tegang sekali. Lalu kulihat Herman mulai melepaskan celana dalamnya dan…, Wowww, belum ada bulunya sama sekali, sebuah kontol yang belum sunat dan tak berbulu. Ohh, begitu indah, begitu mempesona. Lalu kulihat Herman naik ke tempat tidur, menelungkup dan menggoyangkan pantatnya ibarat sedang bersetubuh.

Herman menggoyang pantatnya ke kiri, ke kanan…, naik dan turun…, rupanya sedang mencari kenikmatan yang ingin sekali dia rasakan, tapi sampai lama Herman bergoyang rupanya kenikmatan itu belum dicapainya, Lalu dia bangkit dan menuju kursi dan kontolnya dikocok serta ditempelkannya pantat pada ujung kursi sambil digoyang dan ditekan maju mundur. Kasihan Herman…, rupanya dia sedang terangsang berat…., suara nafasnya yang ditahan menggambarkan dia sedang berusaha meraih dan mencari kenikmatan surga, Namun belum juga selesai, Herman kemudian mengambil spidol…, dibasahi dengan ludahnya lalu pelan-pelan spidol itu dimasukan ke lubang pantatnya, begitu spidol itu masuk sekitar satu atau dua centi matanya mulai merem melek dan erangan nafasnya makin memburu, "Ahh…, ahh", Lalu dicopotnya spidol itu dari lubang pantatnya, sekarang jari tengahnya mulai juga dicolokkan ke dalam lubang pantatnya…, pertama…, jari itu masuk sebatas kukunya kemudian dia dorong lagi jarinya untuk masuk lebih dalam yaitu setengahnya, dia melenguh, "Oohh…, ohh…, ahh", tapi heran aku jadinya, jari tengahnya dicabut lagi dari lubang pantatnya, kurang nikmat rupanya…, lalu dia melihat sekeliling mencari sesuatu…, aku yang menyaksikan semua itu betul-betul sudah tidak tahan lagi.

Penisku sudah sangat mengeras dan tegang luar biasa, lalu kubuka celana dalamku dan sekarang penisku bebas bangun lebih gagah, lebih besar lagi ereksinya melihat lubang pantat si Herman yang sedang terangsang itu. Lalu aku mengintip lagi dan sekarang Herman rupanya sedang menempelkan lubang pantatnya itu pada ujung meja belajarnya. Kini gerakannya maju mundur sambil menekannya dengan kuat, lama dia berbuat seperti itu…, dan tiba-tiba dia melenguh, "Ahh…, ahh…, ahh", rupanya dia telah mencapai kenikmatan yang dicari-carinya.
Kontolnya yang imut dan lucu itu menyemburkan sperma begitu keras dan banyak, hingga muncrat ke dinding dan kasurnya. Buru-buru Herman mengelap sisa-sisa sperma di kontolnya lalu membersihkan kasurnya dari cairan spermanya.

Setelah selesai, dia lalu berbaring di tempat tidurnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Kini posisinya tepat berada di depan pandanganku. Kulihat lubang pantatnya yang berubah warna menjadi agak kemerah-merahan karena digesek terus dengan ujung kursi dan meja. Terlihat jelas pantatnya yang menggembung dengan montoknya ibarat kue apem yang ingin rasanya kutelan, kulumat habis…, dan tanpa terasa tanganku mulai menekan biji penisku dan kukocok penisku yang sedang dalamn posisi "ON". Kuambil sedikit krim pembersih muka dan kuoleskan pada kepala penisku, lalu kukocok terus, kukocok naik turun dan, "Akhh", aku mengeluh pendek ketika air maniku muncrat ke tembok sambil mataku tetap menatap pada pantat Herman yang masih telentang di tempat tidurnya. Nikmat sekali rasanya onani sambil menyaksikan Herman yang masih berbaring telanjang bulat. Kuintip lagi pada lubang angin, dan rupanya dia ketiduran, mungkin capai dan lelah.

Esok harinya aku bangun kesiangan, lalu aku mandi dan buru-buru berangkat ke kantor. Di kantor seperti biasa banyak kerjaan menumpuk dan rasanya sampai jam sembilan malam aku baru selesai. Meja kubereskan, komputer kumatikan dan aku pulang naik taksi dan sekitar jam sepuluh aku sampai ke tempat kostku. Setelah makan malam tadi di jalanan, aku masih membuka kulkas dan meminum bir dingin yang tinggal dua botol. Aku duduk dan menyalakan TV, ku-stel volumenya cukup pelan. Aku memang orang yang tidak suka berisik, dalam bicarapun aku senang suara yang pelan, kalau ada pria di kantorku yang bersuara keras, aku langsung menghindar, aku tidak suka. Acara TV rupanya tidak ada yang bagus, lalu kuingat kamar sebelahku, Herman…, yang tadi malam telah kusaksikan segalanya yang membuat aku sangat ingin memilikinya

Aku naik ke tempat biasa dan mulai lagi mengintip ke kamar sebelah. Herman yang manis itu kulihat tengah tidur di kasurnya, kulihat nafasnya yang teratur naik turun menandakan bahwa dia sedang betul-betul tidur pulas.

Tiba-tiba nafsu jahilku timbul, dan segera kuganti celana panjangku dengan celana pendek dan dalam celana pendek itu aku tidak memakai celana dalam lagi, aku sudah nekat, kamar kostku kutinggalkan dan aku pura-pura duduk di luar kamar sambil merokok sebatang ji sam su. Setelah kulihat situasinya aman dan tidak ada lagi orang, ternyata pintunya tidak di kunci, mungkin dia lupa atau juga memang sudah ngantuk sekali, jadi dia tidak memikirkan lagi tentang kunci pintu.

Dengan berjingkat, aku masuk ke kamarnya dan pintu langsung kukunci pelan dari dalam, kuhampiri tempat tidurnya, lalu aku duduk di tempat tidurnya memandangi wajahnya yang mungil dan, "Alaamaak", Herman memakai celana G-string, celana yang tembus pandang sehingga kontolnya yang berwarna putih kemerahan sangat jelas terbayang di hadapanku. "Ohh…, glekk", aku menelan ludah sendiri dan repotnya, penisku langsung tegang sempurna sehingga keluar dari celana pendekku. Kulihat wajahnya, matanya, alisnya yang tebal, dan hidungnya yang mancung agak sedikit menekuk tanda bahwa cowok ini mempunyai nafsu besar dalam seks, itu memang rahasia lelaki bagi yang tahu. Ingin rasanya aku langsung menubruk dan mejebloskan penisku ke dalam lubang pantatnya, tapi aku tidak mau ceroboh seperti itu.

Setelah aku yakin bahwa Herman benar-benar sudah pulas, pelan-pelan kusingkap G-stringnya, dan nampaklah kontol mungilnya, lalu aku sampirkan ke samping buah pelernya. Kini kulihat pahanya yang putih kecil dan padat itu. Sungguh suatu pemandangan yang sangat menakjubkan, apalagi kontol mungil yang belum sunat itu terkulai lemas membuat penisku mengejat-ngejat dan mengangguk-ngangguk. Pelan-pelan tanganku kutempelkan pada penisnya yang lemas itu, aku diam sebentar takut kalau kalau Herman bangun, aku bisa kena malu, tapi rupanya Herman benar-benar tertidur pulas, lalu aku mulai meremas dan mengocok penis mungil dengan kulup itu .

"Huaa", aku merinding dan gemetar, kumainkan kontolnya, kulupnya kubuka trus kututup lagi, kuremas terus, kugesek pelan, sekali-sekali kubelai kontol mungil itu hingga dipangkal kontolnya, bulunyapun masih tipis dan lembut. Penisku rasanya makin ereksi berat, aku mendesah lembut. Ahh, indahnya kau Herman, betapa kuingin memilikimu, aku menyayangimu, cintaku langsung hanya untukmu. Oh, aku terperanjat sebentar ketika Herman bergerak, rupanya dia menggerakkan tangannya sebentar tanpa sadar, karena aku mendengar nafasnya yang teratur berarti dia sedang tidur pulas.

Lalu dengan nekatnya kuturunkan celana G-stringnya perlahan tanpa bunyi, pelan, pelan, dan lepaslah celana G-string itu dari tempatnya, kemudian kulepas dari kakinya sehingga kini Herman benar-benar telanjang bulat.

Luar biasa, indah sekali bentuknya, dari kaki sampai wajahnya kutatap tak berkedip. Dada dan perutnya yang putih mulus, bersih khas lelaki keturunan. Akh, sangat luar biasa, pelan-pelan kutempelkan wajahku pada penisnya yang masih berkulup itu, kuhirup aromanya yang khas. Oh, aku benar-benar tidak tahan, lalu lidahku kumainkan di ujung kontol berkulup itu. Aku memang terkenal sebagai si pandai lidah, karena setiap cowok yang sudah pernah kena lidahku atau jilatanku pasti akan ketagihan, aku memang jago memainkan lidah, maka aku praktekan pada kontol berkulup si Herman ini. Batang peler yang putih kemerahan itu kusapu dengan lidahku, kuayun lidahku pada pinggiran lalu sekali-kali sengaja sedot dengan pelan batang penis mungil itu.

Kemudian penis berkulup itu kujilat-jilat lembut dengan lidahku yang sengaja kuulur panjang, aku usap terus, aku sedot terus, kujelajahi batang kelelakian itu sehingga lama-kelamaan ujung kontol itu itu mulai basah ada kulupnya, lembab dan berair. Oh, nikmatnya air precum itu, aroma yang khas membuatku terkejet-kejet, penisku sudah tidak sabar lagi, tapi aku masih takut kalau kalau Herman terbangun bisa runyam nanti, tapi desakan kuat pada penisku sudah sangat besar sekali. Nafasku benar-benar tidak karuan, tapi kulihat Herman masih tetap saja pulas tidurnya.-Akupun lebih bersemangat lagi, sekarang semua kemampuan lidahku kupraktekan saat ini juga, luar biasa memang, kontol berkulup yang mungil itu, kontol yang sudah basah. Perahan tapi pasti, kontol itu mulai bergerak-gerak pertanda sudah mulai terisai darah dan mulai menegang dan teracung. Ingin rasanya aku masukkan kontol itu ke dalam lubang pantatku, namun kutahan sebentar, karena lidahku dan jilatanku masih asyik bermain di sana, masih memberikan kenikmatan yang sangat luar biasa bagi Herman.

Sayang Herman tertidur pulas, andaikata Herman dapat merasakan dalam keadaan sadar pasti sangat luar biasa kenikmatan yang sedang dirasakannya itu, tapi walaupun Herman saat ini sedang tertidur pulas secara psycho seks yang berjalan secara alami dan biologis,…nikmat yang amat sangat itu pasti terbawa dalam mimpinya, itu pasti dan pasti, walaupun yang dirasakannya sekarang ini hanya sekitar 25%, Buktinya dengan nafasnya yang mulai tersengal dan tidak teratur serta kontolnya yang mulai mengalirkan precum pertanda dia juga terangsang, itu menandakan faktor psycho tsb sudah bekerja dengan baik. Sehingga nikmat yang luar biasa itu masih dapat dirasakan seperempatnya dari keseluruhannya kalau di saat sadar.

Akhirnya karena kupikir sudah cukup rasanya lidahku bermain di kontol berkulupnya, maka pelan-pelan lubang pantatku yang memang sudah minta terus sejak tadi kuoles-oleskan dulu dengan krim peicin, lalu aku arahkan sesaat pada ujung kontol berkulup itu, rasa basah dan hangat pada lubang pantatku membuat penisku bergerak sendiri otomatis membayangkan pergesekan kontol berkulup itu di dinding lubang pantatku. Dan ketika lubang pantatku dirasa sudah cukup rileks dan licin oleh krim pelicin, maka dengan hati-hati namun pasti penis berkulup milik Herman itu kumasukan perlahan-lahan ke dalam lubang pantatku…, pelan, pelan dan, "sleeppp…, sleseppp", kepala penis berkulup yang masih gundul dn belum berbulu itu sudah tidak kelihatan karena batas di kepala penis Herman sudah masuk ke dalam lubang pantatku. Ohhh kurasakan sensasi yang luar biasa, karena kontol berkulup itu mulai berdenyut denyut merasakan hangatnya dinding lubang pantatku.

Lalu kuperhatikan sebentar wajahnya, Masih!.., dia, Herman masih pulas saja, hanya sesaat saja kadang nafasnya agak sedikit tersendat, "Ehhss…, ehh…, sss", seperti orang ngigau. Lalu kucabut lagi penis berkulup itu sedikit dan kumasukkan lagi agak lebih dalam kira-kira hampir setengahnya, "Akhh…, ahh, betapa nikmatnya, betapa enaknya kontol kulup kamu Herman, betapa imutnya kontolmu". Oh, gerakanku terhenti sebentar, kutatap lagi wajahnya yang betul-betul manis yang mencerminkan sumber seks yang luar biasa dari wajah mata dan hidungnya yang agak menekuk sedikit,.. ohh Herman, betapa sempurnanya tubuhmu, betapa enaknya kontol kulupmu, betapa nikmatnya batang kelelakianmu. Oh, apapun yang terjadi aku akan bertanggung jawab untuk semuanya ini. Aku sangat menyayangimu.

Lalu kembali kutekan agak dalam lagi penis berkulup itu supaya bisa masuk lebih jauh lagi ke dalam lubang pantatku, "Bleeeess…, blesssess", "Akhh…, akhh", sungguh luar biasa, sungguh nikmat sekali kontol itu masuk di lubang pantatku.

Ketika kumasukan penis berkulup itu lebih dalam lagi, kulihat Herman agak tersentak sedikit, mungkin dalam mimpinya dia merasakan kaget dan nikmat juga yang luar biasa dan nikmat yang amat sangat ketika senjata berkulupnya betul-betul masuk, lagi-lagi dia mengerang, erangan nikmat, erangan sorga yang aku yakin sekali bahwa Herman pasti merasakannya walaupun dirasa dalam tidurnya.

Akupun demikian, ketika penis berkulup itu sudah masuk semua ke dalam lubang pantatku, kutekan lagi sampai terbenam habis, lalu kuangkat lagi dan kubenamkan lagi sambil kugoyangkan perlahan ke kanan kiri dan ke atas dan bawah, gemetar badanku merasakan nikmat yang sesungguhnya yang diberikan oleh kontol Herman ini, aneh sangat luar biasa. Sambil sesekali tangaku sibuk mengocok dan meremas kontolku yang terus teracung dan mengalirkan precum kenikmatan sedari tadi. Oh Herman, tak akan kutinggalkan kamu.

Lalu dengan lebih semangat lagi aku mendayung dengan kecepatan yang taktis sambil membuat goyangan dan gerakan yang memang sudah kuciptakan sebagai resep untuk memuaskan Herman ini. Akhirnya senjata berkulup itu kubenamkan habis ke dasar lubang pantatku, habis kutekan penis berkulup itu dalam-dalam. Aakh, kontol berkulup Herman memang bukan main, walaupun kontol itu kecil tetapi anehkarena kulup itu memberikan sensasi yang luar biasa ketika kutarik masukkan, belum lagi dengan urat-urat yang tumbuh di sekitar batang penis berkulup itu membuat sensasinya semakin dahsyat.

Lama-kelamaan, ketika penis berkulup itu benar-benar kuhunjamkan habis dalam-dalam pada lubang pantatku, aku mulai merasakan seperti rasa nikmat yang luar biasa, yang akan muncrat dari lubang perkencinganku. "Ohh…, ohh", kupercepat gerakanku naik turun, dan akhirnya muncratlah air maniku di perut dan dadanya. Aku langsung lemas, dan segera kucabut penis berkulup itu, takut Herman terbangun.

Dan setelah selesai, aku segera merapikan lagi. Celana G-stringnya kupakaikan lagi, begitu juga dengan selimut juga aku kenakan lagi padanya. Sebelum kutinggalkan, aku kecup dulu keningnya sebagai tanda sayang dariku, sayang yang betul-betul timbul dari diriku, dan akhirnya pelan-pelan kamarnya kutinggalkan dan pintunya kututup lagi. Aku masuk lagi ke kamarku, berbaring di tempat tidurku, sambil menerawang, aku menghayati permainan tadi. Oh, sungguh suatu kenikmatan yang tiada taranya. Dan Akupun tertidur dengan pulas.

Keesokan harinya seperti biasa aku bangun pagi, mandi dan siap berangkat ke kantor, namun ketika hendak menutup pintu kamar, tiba-tiba Herman keluar dan tersenyum padaku. Rupanya dia baru bangun tidur dan bermimpi sangat indah tadi malam.

"Mau berangkat Pak?", tanyanya, aku dengan gugup akhirnya mengiyakan ucapannya, lalu kujawab dengan pertanyaan lagi.

"Kok Herman nggak sekolah?".

"Nanti Pak, Herman giliran masuk siang", akupun tersenyum dan Hermanpun lalu bergegas ke depan rumah, rupanya mau mencari tukang bubur ayam, perutnya lapar barangkali. Taxi kucegat dan aku langsung berangkat ke kantor.

Selasa, 25 November 2014

aku adalah seorang gay

Opay lalu naik keatas tubuhku. Dengan tangan gemetaran, entah karena gugup atau nafsu, dia membuka celanaku. Dia mengusap-usap bagian kejantananku yang masih tertidur dan yang masih tertutup CD. Perlahan perasaan nikmat menjalar keseluruh tubuhku dan membangkitkan kejantananku. Dia tertawa. Dia lalu membuka CD-ku dan kedua tangannya langsung memegang kejantananku setelah menyingkirkan CD-ku, lalu meremas, menggosok dan memijatnya. Dalam keadaan tegang seperti itu, rasa nikmat dan nyaman yang kurasakan semakin besar. Suara-suara yang belum pernah kudengar oleh telingaku sendiri keluar dari dalam tenggorokanku. Aku memejamkan mataku.

Beberapa saat kemudian aku melihat kebawah saat aku merasakan Opay menempelkan kejantanannya pada kejantananku dan menggunakan kedua tangannya untuk meremas, memijat dan menggosok. Kejantanan kami tidak begitu jauh berbeda dalam ukuran panjang. Tapi dalam ukuran diameter, sepertinya milik Opay sedikit lebih besar. Kami mengerang dan mendesah.

"Nyaman, Pay." kataku dalam desahanku.

Dia tertawa gugup.

"Nyaman, ke?" Dia melepaskan kejantanannya dari diriku.

Aku melihat cairan bening di ujung kejantananku sendiri.

"Mo yang lebih nyaman agek?" tanyanya. Aku mengangguk.

Sesaat berikutnya, dengan sangat mengejutkanku, Opay memasukkan kejantananku dalam mulutnya, mengulum, menghisap dan menjilat. Tangannya masih bekerja, satu pada kejantananku dan satu lagi pada kedua 'bola'ku. Ini membuatku sedikit kelojotan. Punggungku melengkung nikmat. Nafasku makin terengah-engah.
Kemudian yang kutahu, Opay duduk diatas dadaku dan menyodorkan kejantanannya padaku.

"Mo nyoba, ndak?" kedalaman matanya tidak dapat kuselami.

Anehnya, tanpa rasa kikuk, apalagi geli, aku membiarkan saja kejantanannya dimasukkan kedalam mulutku. Aku meniru sebaik mungkin seperti apa yang sudah dilakukannya padaku. Pinggulnya bergerak dalam satu irama. Makin lama aku merasakan kejantanannya semakin hangat dan berdenyut keras, dan pada akhirnya Opay melenguh nikmat berkepanjangan. Pada saat yang bersamaan sesuatu yang sangat hangat memenuhi mulutku. Tanpa tahu apapun maksudnya itu, aku yang tidak bisa memuntahkannya keluar karena kejantanannya memenuhi mulutku, aku menelannya. Rasa yang aneh, campuran antara aroma yang mentah dan.. Sulit untuk digambarkan.

"Kau telan ke, Wan?" tanya Opay saat dia sudah menarik kejantanannya yang lemas keluar dari mulutku. Aku menggangguk.

Dia tertawa pelan lalu menempelkan bibirnya ke bibirku dan menciumku dengan mesra. Lagi-lagi aku tidak merasa kikuk bahkan geli. Dia lalu mengubah posisi sehingga aku ada di atasnya. Aku dalam posisi merangkak diantara kedua kakinya dengan kejantanan yang masih menegang.

"Dah, abes ke?" tanyaku bingung.

Memang semua yang terjadi terasa nikmat, tapi aku tidak sampai seperti Opay tadi.

"Blom" katanya.

Dia membuat posisi kami berdua sedemikian rupa sehingga mudah untukku menyatukan diri dengannya.

"Masokkan, Wan."
"Apa?" kataku mengulang tidak percaya, padahal aku mendengarnya dengan jelas.
"Masokkan jak."

Aku pun menuruti kata-katanya. Setelah beberapa saat mencoba, tubuh kami berdua pun menyatu diiringi dengan desahan nikmat Opay. Dia memintaku untuk menciptakan iramaku sendiri. Dan, langsung saja, kenikmatan yang berkali-kali lipat lebih besar serasa menyengat seluruh tubuhku saat aku mengikuti gerakan iramaku. Aku sempat melihat kejantanan Opay yang menegang kembali sebelum aku memejamkan mata untuk menikmati kenyamananku yang sedang kurasakan.

Seperti minum air laut, makin diminum makin merasa haus, walaupun terasa semakin berat, aku semakin mempercepat iramaku mengikuti naluriku. Opay mendesah dan mengerang tidak keruan. Satu tangannya mneggosok kejantanannya dengan cepat. Sementara semakin cepat aku bergerak, semakin besar rasa nikmat yang menumpuk didalam perutku yang serasa mendesak untuk dilepaskan.

Tidak lama kemudian, kegilaan menyergapku secara mendadak. Aku membuat suara-suara yang mengerikan yang aku sendiri belum pernah mendengarnya. Aku melepaskan tenaga di dalam perutku yang mendesak keluar seiring dengan melambatnya iramaku. Samar-samar aku mendengar Opay mengerang. Aku membuka mataku dan melihat tangannya pada kejantanannya yang sekeras baja, sementara pada ujungnya tersembur cairan putih kental dalam jumlah yang cukup banyak. 'Itukah yang tadi kutelan?' tanyaku dalam hati.

Malam itu kami mengulangi hal yang sama sebanyak mungkin yang kami bisa, walaupun pada akhirnya kami terlambat bangun keesokan harinya. Kami terus melakukan hal ini sesering mungkin sesudahnya hingga kami menamatkan SLTA kami dan baginya tidak ada alasan untuk datang kekota karena sekolah kami telah usai. Aku sendiri harus pindah karena orang tuaku akan menguliahkanku di kampus terbaik menurut ukuran saku mereka. Kami masih sempat melakukannya beberapa hari sebelum keberangkatanku sebagai hadiah kenang-kenangan tamat SLTA, begitu katanya.

Namun yang jelas hal itu membekas sangat dalam didalam hatiku. Sepanjang waktu aku selalu mengingatnya sebagai 'onani berdua dengan teman', bahkan sampai aku pindah kekota besar tempat aku kuliah nantinya. Dan secara naluriah aku tahu bahwa hal ini bukan hal yang bagus untuk diceritakan karena akan sedikit memalukan.

Dan begitulah awal mulanya. Langkah berikut yang akan kuambil akan merupakan langkah penentu bagiku dan juga hidupku ..... 

Sabtu, 05 April 2014

Ibuku Selingkuh lagi

- Sudah lebih satu tahun aku kuliah di Yogya sejak tahun 2001 lalu dan
liburan semester kemarin aku berkesempatan pulang ke daerah asalku di
sebuah kota kecil di Sumatra.

Di rumah hanya tinggal aku, kedua orang tua dan adikku yang masih sekolah
si SMU. setiap hari ayahku sibuk usaha. kadang-kadang pergi seminggu dan
cuma beberapa hari dirumah, itupun cuma sebentar saja.

Aku tidak pernah menyangka kalau ibuku termasuk perempuan yang libidonya
tinggi, hingga dengan seringnya ayahku pergi, jelas nafsunya tak
tersalurkan. Aku tahu, ayahku juga punya pacar di kota-kota yang sering
disinggahinya, karena aku pernah pergi dengannya beberapa hari dan
malamnya aku tahu dikamar sebelahku (yang diinapi ayahku) terdengar
suara-suara erangan. Paginya aku masuk ke kamar ayahku dan mendapati
mereka tengah mandi sambil bercinta.

Kembali ke masalah Ibuku, sejak seminggu aku tiba dirumah, ayahku sedang
pergi ke luar kota. Malamnya aku pergi dengan beberapa temanku, kebetulan
malam itu malam minggu. Adikku juga pergi ngapelin pacarnya. Ibuku tinggal
sendirian di Rumah.

Belum jam 9 aku memutuskan untuk pulang ke Rumah untuk menemani ibuku.
Perlu ku jelaskan rumahku ada disebuah desa yang penduduknya tidak terlalu
banyak. Dekat rumahku ada sebuah sungai dan dikelilingi sawah. Rumahku
dikelilingi tembok setinggi 2 meter di samping dan belakang.

Setibanya di rumah, aku mendapati pintu depan dikunci. Aku lalu berjalan
ke belakang, tapi begitu tiba disamping kamar ibuku kudengar suara-suara
orang bercakap-cakap pelan. Ada suara laki-laki. Kupikir ayahku sudah
datang. Tapi kudengar suara itu suara laki-laki yang ku kenal dan bukan
ayahku. Aku berjalan mendekati jendela kaca lebar yang tertutup gorden
putih. Lampu didalam remang-remang. kucoba mencari celah gorden untuk
melihat kedalam dan kutemukan di tengah pertemuan antara dua gorden.

Aku lalu jongkok sambil mengintip ke dalam. kulihat ibuku sedang ngobrol
mesra dengan laki-laki muda yang sudah sangat ku kenal karena dia temanku.
Namanya Akbar. Dia anak tetanggaku yang putus sekolah karena orang tuannya
miskin. Aku nggak tahu bagaimana dia bisa menjalin affair dengan Ibuku,
tapi yang ku tahu kontolnya besar dan cokelat. Aku pernah beberapakali
mandi telanjang di sungai waktu SMU sama dia dan beberapa teman sambil
onani dengan sabun mandi. Kami berteman akrab dengan orang lain dan pernah
mengurutkan ukuran kontol yang paling besar. Akbar, aku, Iwan dan Adi.

Kulihat mereka berhenti bercakap-cakapa sambil pelan Akbar mencium bibir
Ibuku (usia ibuku sekitar 40 tahun). Ibuku membalas pelan dan merek
terlihat romantis sekali. Tangan Akbar meremas payudara Ibuku yang masih
terbalut daster merah yang bertali. Tangan Ibuku mengelus-elus kontol
Akbar yang terbalut celana jeans. Tosisi mereka terbaring
berhadap-hadapan. Akbar dan Ibuku saling menjulurkan lidah dan menghisap
lidah dan bibir masIng-masing sambil tangan terus bergerilya. Tangan Akbar
sudah masuk ke daster Ibuku yang talinya sudah merosot dan menampakkan
payudaranya yang dibalut BH. Lalu Akbar pelan menurunkan ciumannya ke
leher Ibuku sambil tangannya melepas kait BH. Dengan mulut dia melepas
kait BH dari punggu Ibuku hingga menampakkan payudaranya yang mulai kendor.

Ibuku terduduk dengan bersandar di ujung ranjang. Akbar membuka baju
kaosnya dan duduk disamping kanan Ibuku sambil terus menciumi payudara dan
meremas vaginanya. Baju ibuku sudah turun sampai paha, ternyata dia sudah
tidak Pakai CD. Vaginanya terus dielus-elus oleh Akbar. dia menggelinjang
dan mengerang-erang pelan sambil tangannya mencari-cari penis Akbar.
Tangannya mencoba membuka celana jeans Akbar yang bagian depannya sudah
menyesak menggumpal. Akbar menghentikan ciumannya dan turun dari ranjang.
Di depan ibuku yang meraba-raba vagian dan payudaranya sendiri, Akbar
membuka celana Jeansnya, meninggalkan CD putih yang penisnya sudah
menyeruak keluar dan sedikit berlendir.

"Ayo, sayang" erang Ibuku pelan. Akbar berjalan dan naik lagi ke kasur,
kali ini dia berlutut disamping ibuku dan membiarkan Ibuku mengeluarkan
penisnya dan bermain dengannya. Pelan ibuku mengeluarkan penis dari CD dan
mengelusnya pelan, lalu Akbar bergeser kedepan, persis di depan Ibuku.
Lidah Ibuku pelan menjilati penis Akbar yang tegang, hitam kecoklatan.
Lidahnya menjilati ujung penis Akbar seperti makan es krim, lalu
pelan-pelan memasukkan penis Akbar ke mulutnya. Akbar mengerang dan
meremas rambut Ibuku yang terurai.

Pelan-pelan akbar menggoyangkan pantatnya dan membuat penisnya keluar
masuk di mulut Ibuku yang duduk tegak dengan kaki mengangkang diantara
tubuh akbar yang berlutut dihadapannya. Kulihat Akbar dan Ibuku begitu
menikmati permainan mereka dengan erangan dan sentuhan.

Aku yang sejak tadi ngintip sambil jongkok kini berlutut dan mengeluarkan
penisku dari sarangnya sambil mengelus pelan terus melihat adegan didalam
kamar.

Kulihat Akbar mengerang sambil melepaskan penisnya dari mulut Ibuku dan
mengocoknya hingga sperma muncrat di wajah ibuku yang menjilati penis
Akbar.

Akbar lalu berbaring di ranjang, ibuku turun dari ranjang mengambil tissue
dan melap penis akbar yang mulai lemas terkulai. Lalu ia beranjak ke kamar
mandi dengan telanjang bulat.

Ibuku terbalut handuk waktu keluar dari kamar mandi dengan wajah bersih
dari sperma sambil membawa segelas minuman dan mengangsurkannya ke Akbar.

Aku menghentikan kocokan di penisku dengan harapan show akan berlanjut.

Kulihat ibuku beranjak menghidupkan TV, suaranya terdengar sayup-sayup
keluar dan kudengar suara rintihan dan erangan, langsung ku tebak itu VCD
porno. Lima menit ibuku nonton sambil duduk di bibir ranjang. Akbar juga
menonton sambil masih berbaring telentang. Sepuluh menit kemudian kuliahat
penisnya mulai membesar lagi sambil tangannya mengelus-elus sampai ukuran
maksimal. Lalu dia beranjak kebelakang ibuku dan memeluknya sambil
menciumi punggu dan melepas handuk dan meremas payudara ibuku. Ibuku
memeluk leher Akbar dari depan sambil berciuman. Akbar sambil terus
mencium Ibuku beranjak turun dari ranjang dan menghadap ibuku yang masih
duduk di pinggir ranjang, dia berlutut dihadapan ibuku dan mengarahkan
wajahnya ke vagina ibuku.

Ibuku langsung mengangkangkan kakinya hingga akbar leluasa mengarahkan
lidahnya ke vagina ibuku. Akbar menjilati vagina ibuku yang menggelinjang
dan mengerang pelan. Ibuku semakin mengangkangkan kakinya dengan tangan
menyangga tubuh di ranjang. Akbar terus menjilati dan mengulum vagina
Ibuku sampai dia mau orgasme, terlihat dengan tubuhnya yang menegang dan
ia memegang kepala Akbar yang berada diselangkanagnanya. Akbar melepas
cumbuannya dan membiarakan Ibuku tenang dulu dengan menciumi bibirnya
pelan dan mesra sambil merebahkan tubuh Ibuku di ranjang dengan kaki masih
menjulur ke lantai. Penisnya menempel di paha ibuku yang memeluknya sambil
mengelus punggung Akbar.

Aku juga diluar yang mengintip sambil onani nyaris orgasme, tapi kutahan
untuk adegan selanjutnya yang kutunggu-tunggu.

Akbar masih mencumbu bibir Ibuku dengan mesra dan lembut, tangannya
menopang pada kasur hingga tidak menempel di tubuh ibuku, penisnya
digesek-gesekkan di sekitar selangkangan Ibuku. Akbar beranjak menuju meja
rias dan mengambil sesuatu yang ternyata adalah cairan pelicin. Dia
melumuri penisnya dengan pelicin dan juga vagina Ibuku. Lalu akbar
berlutut di depan ranjang dan menarik tubuh Ibuku ke depan penisnya. Kaki
ibuku mengangkang di bahu Akbar yang tengah memain-mainkan penisnya di
liang vagina Ibuku. Setelah siap, Akbar menekan pelan penisnya memasuki
vagina Ibuku yang merekah dihadapannya. Lalu setelah masuk semua, ia mulai
mengocok penisnya di vagina Ibuku. Tanganya memegangi kedua paha Ibuku
yang ada dipunggungnya. Akbar mengocoknya pelan dan romantis sambil
tanganya coba meraih payudara ibuku.

Beberapa menit kemudian, Akbar mengepitkan kedua paha Ibuku dengan kakinya
hingga kaki Ibuku ada di dalam kedua kakinya. Lalu ia bertumpu pada
ranjang persis di hadapan ibuku. Penisnya mengarah ke Vagina Ibuku yang
tertutup rapat dengan paha. Mungkin vagina Ibuku sudah lebar makanya dia
coba dengan merapatkan paha supaya vaginanya merapat lagi. Dengan sebelah
tangannya dia mengarahkan penisnya ke vagina Ibuku. Pelan dia menekan
dengan kakinya tetap merapatkan paha Ibuku. Ternyata susah. Akbar meraih
pelumas di samping ranjang dan melumuri vagina ibuku juga dengan penisnya,
lalu kaki ibuku sedikit direnggangakan. Akbar kembali menekan penisnya di
vagina Ibuku pelan. Setelah masuk setengahnya dia mengocok pelan-pelan,
lalu memasukkannya semua sambil terus mengocok pelan.

Mulailah terdengar erangan dan dengusan nafas dari kedua orang tersebut.
Setiap Akbar mengcok penisnya ke bawah Ibuku membalas dengan
menggoyangkannya ke atas. Akbar memejamkan matanya sambil terus bertumpu
pada kedua tangannya. Keduanya terus saling menggoyangkan pantat. Akbar
pertama terlihat mau orgasme dan langsung mencabut penisnya dari vagina
Ibuku. Lalu dia duduk di bibir ranjang. Ibuku bangkit dan berdiri
dihadapannya. Akbar menarik tubuh ibuku dan menaikkannya ke pahanya dengan
posisi berhadapan.

Ibuku mengarahkan vaginanya ke Penis Akbar yang memegangi tubuh ibuku.
Setelah masuk, Ibuku kembali menggoyangkan pantatnya diatas tubuh Akbar.
Ibuku senagaj mendorong tubuh Akbar hingga terbaring di Ranjang hingga dia
bebas memegang kendali diats. Akbra meraih payudara Ibuku dan meresnya
perlahan seirama dengan Kocokan pantat ibuku di penisnya.

Aku diluar semakin kencang mengocok penisku sendiri sambil kulihat ibuku
mengerang hebat dan semakin mempercepat kocokannya. Lalu semakin melemah
dan akhirnya berhenti. Tubuhnya jatuh di tubuh Akbar yang terbaring.

Akbar lalu membalikkan posisi mereka dan membalikkan tubuh Ibuku, lalu
mengambil pelumas dan melumuri penis dan pantat Ibuku. Penisnya didorong
pelan di lubang pantat ibuku pelan, lalu mengococknya pelan. Ibuku bangkit
dengan posisi merangkak. Akbar semakin leluasa mengocok penisnya dengan
memegani tubuh ibuku, sesekali dia merunduk dan menciumi punggung Ibuku
dan meremas payudaranya.

Aku mencapai orgasme di luar begitu Akbar kocokan penis Akbar semakin
kencang dan dia akhirnya sampai klimaks juga. Mereka berdua terbaring di
ranjang. Tangan Ibuku mengelus dada Akbar. Lima menit kemudian, Akbar
berdiri dan beranjak ke kamara mandi. Keluar dari sana dia sudah bersih
dan mengenakan CDnya, lalu buru-buru berpakaian. Ibuku berdiri dan
menyelipkan selembar uang seratus ribu di kantongnya.

Besok sorenya aku diajak mandi di sungai sama Akbar. Sambil merokok dan
ngobrol kami duduk di pinggi sungai sebelum mandi.

"Gimana cewek-cewek jogja". Tanya Akbar sambil membuka kaosnya.

"Biasa aja." Jawabku.

"Udah berapa yang kau perawani?"

"Belum adalah."

"Kenapa? Kan banyak yang bias dipake disana. Masak kalah sama aku yang
disini, udah merawani 3 cewek, belum lagi Ibu-ibu yang gatal memeknya
pengen kontol anak muda."

"Yang bener, kau udah pernah ngentot?" pancingku.

"hahauahaha.." dia tertawa."Udah biasa itu. Untuk apa punya kontol besar
tapi nggak pernah nikam."

"Siapa aja cewek itu?"

"Rahasialah. Kalau kau mau, nanti aku kenalkan sama temenku yang pernah
kuentoti juga. Gratis kok. Lagian kontol kamu kan lumayan gede, dia pasti
suka."

"Kau pernah ngentot sama Ibu-ibu juga? Siapa?"

"Itu lebih rahasia lagi. Kalau cewek-cewek untuk kepuasan, kalau Ibu-ibu
untuk uang. Mana enak ngentot sama Ibu-ibu, memeknya udah blong, susunya
udah kendor."

Dia berdiri membuang puntung rokok dan membuka celana jeasnnya menyisakan
CD yang membalut penisnya yang menggumpal di selangkangan sambil
dielus-elus.

"Ini asset, harus dijaga dan dirawat." Katanya sambil membuka CD dan
beranjak ke sungai mandi.

--
Using Opera's mail client: http://www.opera.com/mail/

Minggu, 12 Januari 2014

Guru binal doyan kontol 3

Me and My Teacher – 6

“Jilat sampai bersih” kata ibu Anna kemudian.

Ini adalah hal yang paling tidak kusukai, karena tentu saja sesudah ejakulasi, aku sudah tidak bergairah lagi untuk melakukannya, tapi nampaknya ibu Anna tidak mau tahu, dengan mata melotot ia memandangku yang terlihat sangsi. Penis itu terlihat bersih, aku sendiri heran bagai mana mungkin bisa terjadi, mungkin karena enema yang tadi ibu Anna berikan.

“Mau tidak?” tanyanya dengan geram.

Aku kemudian mengangguk lemah mengiyakan. Dengan perlahan aku mulai menjilati ujung penis itu. Ada tercium sedikit bau kotoran memang, namun ternyata tidak seburuk yang kuduga. Secara perlahan aku mulai memasukan penis itu ke dalam mulutku. Bau khas sperma bercampur dengan bau kotoran dan baby oil tercium oleh hidungku, namun aku masih meneruskan pekerjaanku yang memang masih jauh dari bersih itu. Dengan perlahan kujilati spermaku sendiri yang kini berada di penis itu. Membutuhkan waktu sekitar dua menit bagiku untuk menyelesaikan pekerjaanku itu. Sesudah selesai melakukannya barulah aku merasa mual ingin muntah, namun sebisanya aku menahan perasaan itu. Setelah penisnya selesai dibersihkan, ibu Anna segera beranjak pergi meninggalkanku sendirian di ruang itu.

Aku merasa cukup lega setelah selesai melakukannya, karena aku mengira sekarang ini permainan ibu Anna sudah berakhir, sedangkan aku tadi melihat ibu Anna juga sudah bermandikan keringat dan pastilah dia kelelahan setelah melakukannya. Baru saja sedetik sesudah aku berpikir demikian, aku harus kembali menelan pil kekecewaan. Ibu Anna sudah kembali dengan membawa potongan-potongan pakaian berwarna merah muda serta sebuah benda yang tidak kukenal.

“Pakai ini” kata ibu Anna padaku sambil menyodorkan pakaian dalam genggaman tangannya.

Aku menyambutnya dengan kedua tanganku yang masih terikat. Disana kulihat sebuah celana dalam wanita super mini, dibagian depan hanyalah sebuah segitiga kecil, sedangkan bagian belakang hanyalah berupa sebuah tali. Selain itu ada juga bikini serta sebuah stocking lengkap dengan supporternya.

Kesemuanya satu warna, pink. Dengan tak banyak bicara, ibu Anna membuka ikatan pada tanganku. Setelah itu aku sudah tidak punya alasan untuk mengabaikan perintahnya. Dengan bantuan ibu Anna, aku mengenakan semua itu. Memang dalam beberapa jam terakhir ini, ini adalah pertama kalinya aku mengenakan sesuatu di tubuhku, tapi tetap saja aku merasa lebih baik bugil dari pada memakai pakaian seperti ini, karena kini aku benar-benar menyerupai pelacur dengan pakaian yang kukenakan.

Setelah itu, ibu Anna memerintahkanku untuk kembali berbaring di ranjang. Setelah aku melakukannya, ibu Anna membawa benda yang tadi di bawanya ke hadapanku. Benda itu bentuknya seperti kapsul dengan ukuran kurang lebih 25 centi dengan diameter 5 centi, berwarna hitam pekat serta terdapat semacam sabuk kulit ditengah benda itu, namun setelah kuperhatikan lebih lanjut, sabuk itu tidak terdapat tepat ditengah benda itu, melainkan agak ke ujung, sehingga terdapat 2 bagian, bagian yang panjang sekitar 17 atau 18 centi sedangkan bagian yang pendek sekitar 7 atau 8 centi yang dipisahkan sabuk itu.

Ibu Anna menyodorkan bagian yang panjang, kemudian menyuruhku menjilatinya, sudah kuperkirakan sebelumnya. Baru saja aku mulai menjilati benda itu, yang memang bentuknya agak mirip dengan penis itu, ibu Anna sudah tidak sabar, dengan kasar dia memasukan hampir seluruh bagian benda itu ke dalam mulutku sehingga hampir saja aku tersedak. Selang sebentar saja, ibu Anna sudah mencabut benda itu, dan tampak air liurku sudah membasahi permukaan benda itu. Sesudah itu kembali dia memasukan benda itu ke dalam mulutku, kali ini bagian yang pendek, karena memang pendek, sekitar 7 atau 8 centi, benda itu tidak membuatku kesulitan, hanya saja karena diameternya yang cukup besar membuat rahangku sedikit sakit yang terbuka agak lebar.

Sesudah itu, dengan mengangkat kepalaku, ibu Anna mengaitkan sabuknya dengan kencang sekali dibelakang kepalaku. Sesudah benda itu terpasangpun aku masih belum mengetahui dengan jelas apa kegunaannya. Rasanya mustahil jika benda itu hanya berguna untuk menyumbat mulutku kataku dalam hati, walaupun memang efektif karena aku kini tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun dari mulutku.

“Kamu tahu apa gunanya benda ini?” tanya ibu Anna padaku.

Dengan terpaksa aku menggeleng karena aku memang tidak mengetahui apa kegunaan benda ini, atau lebih tepat cara menggunakannya.

“Benda ini jauh lebih bisa memuaskan dari pada kontol kamu yang tidak ada gunanya itu” katanya sambil melepaskan celana dalam beserta penisnya itu.

Dengan hanya mengenakan BH saja, ibu Anna berdiri tepat di atas wajahku, kemudian dengan gerakan perlahan, ibu Anna berjongkok dan memposisikan bagian panjang benda tersebut ke dalam liang vaginannya. Perlahan ujung benda itu mulai memasuki liang vaginanya. Dengan bantuan air liur serta cairan vaginanya yang membanjir, nampaknya selain diriku yang mendapat orgasme ketika dientot dengan penis buatan itu, sang pemilik, dalam hal ini ibu Anna, tampaknya juga mendapatkannya.

Dengan mudah saja benda itu kini terbenam seluruhnya dalam vagina ibu Anna. Memang di bandingkan dengan penisku, benda itu masih jauh lebih besar, maka itu aku agak terkejut juga melihatnya dengan begitu mudah “ditelan” liang vagina ibu Anna. Sesudah itu, ibu Anna mulai menggerakan pinggulnya naik-turun. Selang beberapa saat kemudian, dia mempercepat gerakannya, lalu sesaat kemudian kembali memperlambatnya. Seiring dengan gerakan tubuhnya, kepalaku juga ikut melompat-lompat, untunglah saat itu aku berbaring di ranjang, jika dilantai tentunya akan menambah daftar penderitaanku. Entah sudah berapa kali aku hampir tersedak akibat benda di dalam mulutku itu, selain itu rahangku juga hampir copot rasanya akibat sesekali menahan berat tubuhnya. Satu-satunya hiburanku adalah aroma vagina ibu Anna yang memang sangat kusukai, dan buah dada sempurnanya yang melompat-lompat di dalam BH nya.

Hampir selama 5 menit, ibu Anna bertahan dalam posisi demikian, baru sesudah itu dia kemudian memutar tubuhnya, sehingga kini yang kulihat adalah bagian punggungnya. Pemandangan buah dada melompatnya kini sudah digantikan dengan lubang anusnya yang hanya berjarak beberapa mili dari hidungku, bahkan sesekali mengenainya akibat guncangan 8,0 skala richter yang dibuat ibu Anna. Memang boleh dikatakan lubang anusnya tidak berbau (entah bagaimana hal itu bisa terjadi), tapi kalian bayangkan saja sendiri bagaimana rasanya berada dalam posisi demikian!

Sesaat kemudian, dengan diawali dengan jeritan kenikmatan tanda orgasme, ibu Anna membenamkan vaginanya dalam-dalam ke benda tersebut. Jika bisa tentunya aku juga sudah ikut menjerit karena pada saat itu ibu Anna seakan-akan hanya menumpukan berat badannya di mulutku. Tulang pipi, tulang rahang serta gigiku terasa ngilu sekali akibat mendapat tekanan yang demikian besar, sedang hidungku juga tidak luput dari lubang anusnya. Untung kejadian itu hanya berlangsung sesaat saja. Sesudah itu ibu Anna mendemonstrasikan kelenturan pinggulnya dengan bergerak meliuk dan berputar dengan erotis. Dapat kurasakan cairan orgasmenya yang mengalir turun mengenai pipi dan daguku.

“Ambil nafas” kata ibu Anna dengan pelan sehingga hampir saja aku tidak mendengarnya.

Aku tidak mengerti mengapa ibu Anna memerintahkan hal seperti itu, namun saja kini aku sudah terbiasa untuk langsung melakukan perintahnya tanpa berpikir dahulu. Baru setengah jalan aku menghirup udara, tahu-tahu ibu Anna kembali membenamkan tubuhnya. Tentu saja hal itu membuatku terkejut karena lubang anus ibu Anna secara tiba-tiba menutup hidungku. Dengan cepat beban berat kembali menekan wajahku, bahkan kali ini terasa lebih berat dari pada sebelumnya.

Beberapa detik kemudian barulah aku tahu apa penyebabnya setelah merasakan kedua kakinya sedang memainkan penisku yang tanpa kusadari sudah kembali tegang. Ternyata kali ini ibu Anna benar-benar menduduki wajahku. Tanpa kedua kaki yang tadi sedikit banyak ikut membantu menyangga, kini seluruh berat tubuhnya diterima wajahku. Setelah itu untuk melengkapi penderitaanku, ibu Anna menggoyang-goyangkan pinggulnya yang mengakibatkan vagina, pantat dan lubang anusnya bergesekan keras dengan wajahku.

Semenjak tadi aku sudah berusaha sekuat tenaga menggunakan kedua tanganku untuk mengangkat tubuh ibu Anna yang menekan wajahku, namun tetap saja tubuh ibu Anna tidak bergerak walau sesenti. Dalam beberapa detik kemudian aku sudah merasa pandanganku berkunang-kunang karena otakku kekurangan suplai oksigen. Tanganku masih berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengangkat tubuh ibu Anna, sementara kedua kakiku menendang kesana kemari dengan frustasi. Jika dalam beberapa detik lagi aku masih belum bisa bernafas pastilah aku bisa celaka, atau setidaknya jatuh pingsan.

Akhirnya dengan seluruh tenaga yang masih tersisa, kudorong tubuh ibu Anna ke samping, dan ternyata usahaku berhasil, tubuhnya terjatuh kesamping sehingga memberikan jalan buatku untuk bernafas. Dengan tergesa-gesa aku langsung menghirup udara sehingga tanpa dapat kutahan, aku tersedak, namun karena ada benda didalam mulutku, aku tidak bisa terbatuk-batuk, hal itu membuatku sangat tersiksa sekali. Untung saja dengan sigap, ibu Anna kemudian membuka ikatan sabuk di belakang kepalaku dan mencopot benda itu dari mulutku. Barulah kemudian aku terbatuk-batuk tanpa henti.

Dengan tak mengucap sepatah katapun, ibu Anna meninggalkanku yang masih berusaha memulihkan jalan pernafasanku. Sesaat kemudian barulah nafasku mulai teratur dan pikiranku kembali terang. Aku kemudian melihat sekeliling, ternyata ibu Anna sedang mengganti pakaian. Ia melepaskan BH yang tadi dipakainya, dan selanjutnya ia mengenakan gaun tidur berwarna putih transparan sehingga memperlihatkan puting susu serta vaginanya dengan samar-samar.

Dengan masih tidak mengucap apa-apa, ibu Anna kemudian mengikat kedua tanganku dibelakang dengan tali. Barulah setelah itu ibu Anna mematikan lampu. Karena memang ranjang itu berukuran double, sehingga masih menyisakan banyak ruang setelah ibu Anna kemudian berbaring di sebelahku. Sesaat kemudian tampaknya ibu Anna sudah tidur terlelap. Sedangkan aku masih mengalami sedikit kesulitan karena ikatan pada tanganku yang membuatku benar-benar tidak nyaman, terlebih lagi BH yang masih kukenakan, yang kini entah kenapa terasa kencang sekali sehingga membuatku agak sedikit sulit bernafas, namun tak lama kemudian karena memang sudah benar-benar lelah, aku tertidur juga.

Ketika terbangun aku menyadari ibu Anna sudah tidak ada di tempatnya. Aku melihat jam dinding yang menunjukan sudah hampir jam 8 pagi. Yang pertama kali kurasakan ketika bangun adalah sekujur tubuhku yang pegal-pegal serta kehausan yang sebenarnya sudah semenjak kemarin, hanya saja aku tidak berani untuk mengatakan.

E N D

Ibu guru binal doyan kontol 2

Me and My Teacher – 2

Selang beberapa hari kemudian..

Hari itu hari sabtu. Dengan gelisah aku berkali-kali melihat ke jam dinding, sudah jam 12 lewat 40 menit tapi Pak Rudi (Kepala Sekolah) masih dengan semangatnya menerangkan tentang rencana study lapangan selama tiga hari yang akan diadakan di luar kota bulan depan. Yang membuatku gelisah adalah entah kenapa hari itu tanpa sengaja aku meninggalkan kunci rumah ibu Anna yang dipercayakannya padaku. Rumahku bisa dibilang dekat dengan rumah ibu Anna, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk pulang ke rumahku dan kemudian langsung ke rumah ibu Anna. Yang membuatku khawatir adalah beberapa hari terakhir ini ibu Anna pulang lebih awal. Biasanya hampir jam 2 siang ibu Anna baru datang, namun kini jam satu lewat beberapa menit saja ia sudah datang. Bahkan pernah suatu ketika ibu Anna sudah menunggu di depan rumahnya pada saat aku datang, namun karena memang belum lewat jam 1 siang maka ibu Anna tidak menarik panjang hal itu.

Sementara itu belum ada tanda-tanda Pak Rudi akan selesai bicara sehingga membuatku semakin gerah saja. Selang beberapa menit kemudian aku sudah tidak tahan.

“Pak sudah siang nih,” ujarku memberanikan diri.

Untung saja teman-teman kelasku yang lain ikut-ikutan memprotes sehingga dengan terpaksa Pak Rudi menyudahi pembicaraannya lalu membubarkan kelas. Langsung saja aku berlari secepatnya untuk segera pulang ke rumah mengambil kunci baru kemudian ke rumah ibu Anna. Dan benar saja kekhawatiranku, meskipun dengan sekuat tenaga aku berusaha, aku baru bisa sampai pada jam 1 lewat 10 menit. Dan ibu Anna sudah menyambut di depan pintu rumahnya dengan pandangan yang mau membunuhku ketika melihatku datang.

“Kamu tahu apa kesalahan kamu?” kata ibu Anna kepadaku ketika kami sudah berada di dalam rumahnya.
“Tahu bu” jawabku.
“Bagus, berarti kamu juga tahu apa hukuman kamu?” lanjutnya lagi.

Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaanya. Bisa-bisanya aku tidak ingat dengan ucapanya waktu itu. Aku mencoba berpikir mengingat-ingat apa yang waktu itu pernah ibu Anna katakan padaku tentang hukuman apa yang diberikan jika aku datang telat. Semakin lama aku berpikir semakin aku tidak bisa ingat apa-apa, apalagi aku mejadi semakin gugup melihat gerak-gerik ibu Anna yang tampaknya akan marah besar.

“Tahu tidak!?” bentak ibu Anna di depan wajahku.
“Maaf bu” jawabku pasrah.
“Dasar otak kontol” makinya padaku semaunya.

Entah mengapa setelah mendengar makiannya yang pedas, aku langsung teringat dengan perkataanya waktu itu. Ketika itu ibu Anna memberikan surat ancamannya yang disertai dengan foto-foto diriku, siangnya ibu Anna menemuiku dan memberikan kunci rumahnya padaku disertai dengan perintah-perintah dan peringatannya jika aku sampai telat aku akan dihukum seperti pada waktu aku pertama kali datang kerumahnya (baca “My Teacher”).

Namun kini sesudah aku mengetahuinya, aku malah tidak berani mengatakannya, karena aku tahu ibu Anna sekarang ini sedang marah besar, dan menurut pendapatku pada saat ini ibu Anna lebih suka aku diam tidak menyela makian-makiannya pada diriku.

“Bagaimana sekarang?” tanyanya padaku setelah puas menyemburkan cacian padaku selama hampir semenit lamanya.
“Ampun Bu saya pantas dihukum” jawabku terpaksa.
“Sekarang kamu pulang dan minta ijin sama orang tua kamu untuk menginap di rumah teman kamu malam ini” katanya padaku setelah terdiam sesaat.

Walaupun aku tahu apa yang akan terjadi padaku, namun tetap saja aku tidak berani protes, bahkan untuk menatap matanya saja aku tidak berani.

“Baik bu” jawabku lirih.
“Kamu harus kembali kesini dalam sejam” katanya padaku, “Awas kamu bisa dihukum lebih parah kalau lalai lagi” sambungnya.

Setelah itu, dengan tidak membuang waktu aku segera beranjak untuk pergi pulang. Sesampainya dirumah aku segera berganti pakaian dan tidak lupa membawa satu setel pakaian yang kumasukan ke dalam tas yang biasanya kugunakan untuk bermain bola. Untung saja ibuku tidak terlalu susah memberikan ijin padaku untuk pergi menginap hari itu. Dengan segera aku bergegas untuk langsung pergi. Walaupun sebenarnya aku tahu pada waktu itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu sebelum kembali ke rumah ibu Anna, Namun kali itu aku tidak berani ambil resiko untuk ayal-ayalan. Dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah ibu Anna. Disana aku melihat ibu Anna sudah menungguku.

“Apa itu?” tanya ibu Anna sambil melihat ke tas yang kubawa.
“Baju bu” jawabku jujur.
“Kamu tidak perlu baju, taruh disana” katanya dengan dingin sambil menunjuk ke sofa.

Dengan segera aku melaksanakan perintahnya. Agak kecut juga hatiku mendengar perkataannya, aku yakin tidak lama lagi ibu Anna akan menyuruhku membuka pakaian yang kini kukenakan.

“Mulai sekarang kamu dilarang berbicara apapun juga, kecuali atas seijin saya, mengerti?” katanya padaku dengan dingin. Aku mengangguk mengiyakan.
“Bagus, sekarang ikut ibu” perintahnya lagi padaku.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Anna belum mengganti pakaiannya, masih sama seperti yang biasa dia kenakan jika mengajar. Setelan jas dan rok formal berwarna hitam serta sepatu hak tinggi, sedangkan aku kini mengenakan kaos santai dan celana 3/4. Di tangannya, ibu Anna membawa sebuah benda yang tidak terlalu kuperhatikan, namun sepertinya aku dapat memastikan bahwa itu akan dipergunakan padaku.

Aku mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Benar saja perkiraanku, ibu Anna membawaku ke ruang tempat menjemur pakaiannya.

“Buka semua pakaian kamu!” katanya padaku setelah kami berada disana.

Dengan cepat aku meloloskan semua pakaianku. Meskipun di sana adalah ruang yang terbuka pada bagian atasnya, namun tidak memungkinkan bagi orang di luar untuk dapat melihat kegiatan kami didalam, dikarenakan tembok disekeliling yang tingginya bersambung dengan tingat dua bangunan itu. Aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang aku masih saja tidak terbiasa berada dalam keadaan bugil dihadapan ibu Anna, meskipun hampir setiap hari aku mengalaminya selama sebulan belakangan ini. Dan entah kenapa setiap aku berada dalam keadaan seperti itu, penisku langsung mulai menengang ketika ibu Anna menatapku dengan perasaan jijik, tidak terkecuali saat ini.

“Saya lihat kamu sudah tidak sabar” katanya padaku sambil tangannya mengocok pelan penisku yang sudah tegang.
“Benar begitu hah?” tanyanya padaku sambil masih terus mengocok penisku.
“I.. Iya bu” jawabku.
“Diam!!” bentaknya sambil tangannya yang tadi digunakannya untuk mengocok penisku menampar pipi kiriku dengan keras.
Tamparannya lebih menyakiti harga diriku di banding kulitku.
“Kamu akan dihukum oleh karena itu” katanya ibu Anna kemudian.

Selanjutnya ibu Anna memasangkan sejenis kalung yang terbuat dari kulit (collar) yang tersambung dengan rantai, di leherku, kemudian ujung rantainya di kaitkan ke tiang besi yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Panjang rantainya sendiri sedikit kurang dari 2 meter. Setelah ibu Anna selesai memasangnya, ibu Anna kemudian mengambil sebuah benda yang berwarna hitam yang tadi dibawanya. Benda itu teryata sebuah cambuk yang panjang talinya sekitar 1,5 meter.

“Ctarr”.

Tanpa diduga-duga ibu Anna melecutkan cambuk itu. Secara refleks aku melompat kaget, namun sesudahnya aku sadar bahwa ibu Anna hanya memukul udara.

“Lari!” perintah ibu Anna.

Dengan segera aku mulai berlari. Ruang itu luasnya hanya 4×4 meter, sehingga tidak memberikan banyak ruang bagiku untuk berlari, di tambah dengan ikatan di leherku maka aku hanya berlari berputar-putar di sekitar tiang itu.

Ctarr.. kali ini benar-benar sebuah cambukan mendarat tepat di pantat kananku.

“Auu!” jeritku sambil melompat kesakitan.
“Jangan bicara!” bentaknya padaku sambil mendaratkan sebuah pukulan lagi di punggungku. Kugigit bibirku untuk menahan sakitnya.
“Lebih cepat!” sambungnya memberi perintah. Mendengar perintahnya aku langsung berlari secepat-cepatnya mengitari tiang itu.

Aku sudah terbiasa dengan olah raga sepakbola, karena itu bisa dibilang staminaku sedikit diatas orang-orang yang lain. Setelah sepuluh menit barulah aku mulai merasa kehabisan tenaga. Sebenarnya bisa dibilang keadaanku pada saat itu benar-benar konyol, dibawah terik matahari, aku berlari sprint berputar-putar disekitar tiang dengan keadaan bugil. Sedangkan ibu Anna tidak segan-segan mendaratkan cambuknya di tubuhku jika aku mulai memperlambat gerakanku. Sudah beberapa cambukan yang mendarat di tubuhku, diantaranya tiga di punggung, dua di pantatku dan sekali mengenai tanganku. Setiap pukulannya yang mendarat di tubuhku memberiku semangat untuk kembali mempercepat lariku. Dan boleh percaya boleh tidak pukulan cambuk yang mendarat di tubuhku memberiku tenaga lebih dari yang diberikan minuman energi merek apapun juga. Dengan peluh yang sudah mengucur dari seluruh tubuhku aku masih terus berlari hingga akhirnya aku hampir mencapai batas ketahanan tubuhku.

“Stop” kata ibu Anna tiba-tiba.

Mendengar perkataanya langsung saja aku berhenti dan langsung jatuh berlutut dengan nafas teputus-putus. Aku sangat yakin jika diteruskan beberapa putaran lagi aku pasti akan pingsan. Karena pada saat itu aku sudah merasakan intensitas cahaya dilingkungan itu bertambah besar, suatu gejala ketika tubuh sudah mencapai batas ketahanan.

Selang beberapa saat aku mulai dapat mengatur nafasku. Baru setelah itu aku mulai dapat merasakan perih sesungguhnya akibat cambukkan yang tadi mengenaiku. Dengan perlahan aku mencoba untuk meraba bagian-bagian tubuhku yang perih. Garis-garis merah bekas pukulan terlihat jelas di paha dan tanganku. Sedangkan wajah ibu Anna menunjukkan ekspresi kepuasan melihat penderitaanku. Setelah membiarkanku untuk istirahat sejenak, kemudian ibu Anna memulai permainan lainnya.

Setelah melepaskan rantai dari tiang besi itu, ibu Anna kemudian menyentaknya, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Dengan patuh akupun kemudian merangkak mengikuti langkahnya. Ibu Anna sudah pernah memberi perintah jika aku mengenakan collar maka aku tidak diperbolehkan berjalan berdiri, melainkan merangkak seperti anjing.

Ibu Anna ternyata akan membawaku ke lantai dua. Aku tidak pernah mengetahui ada apa di sana, karena ibu Anna tidak pernah membiarkan pintu yang terdapat di ujung tangga tak terkunci. Dengan tangan kiri memegang rantai yang terhubung dengan collar di leherku, ibu Anna membuka pintu itu dengan tangan kanannya. Aku sebelumnya sempat menduga bahwa lantai dua itu dipergunakan sebagai gudang, namun dugaanku meleset sedikit.

Ke bagian 3

Me and My Teacher – 3

Ruangan itu besarnya sekitar 5X10 meter, seluruhnya tertutup karpet tebal berwarna biru dan di ruangan itu terdapat beberapa cermin persegi yang berukuran besar sedangkan temboknya bercat hitam. Kesan pertamaku setelah memasuki ruangan ini adalah panas dan pengap, entah apa penyebabnya. Bisa dibilang tidak terdapat apa-apa diruangan itu, hanya beberapa alat yang tidak kuketahui kegunaannya yang terletak di salah satu sudut ruangan itu.

Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang, dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan demikian.

“Plak!”

Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.

“Jalan!” katanya dingin.

Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak mau tahu dengan keadaanku.

Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya. Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.

Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat. Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau pingsan, aku tidak tahu.

Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas, sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka pintu yang terkunci.

Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.

“Bagaimana keadaan kamu?” tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
“Saya.. Haus.. Bu” kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.

Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani mengulangi permintaanku lagi.

“Seberapa haus?” tanyanya tiba-tiba padaku.
“Sangat haus bu” kataku memelas.
“Apa yang kamu mau?” tanyanya lagi padaku.
“Minum.. S.. Saya mau minum” jawabku lagi.
“Mau minum apa?” kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.
“Apa saja.. Terserah” jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.
“Apa saja boleh?” tanyanya lagi padaku.
“Ya Bu apa aja” jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.
“Baik kamu yang minta” kata ibu Anna kemudian.

Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini, tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga membuat mulutku membuka paksa.

Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah mendapat perlakuan serupa (kembali baca “my teacher), namun pada saat itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku tadi.

Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari vagina ibu Anna.

Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus mengeluarkan “minumannya”, seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya. Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk memudahkan jalan semburan air kencingnya.

Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.

“Bersihin” kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.

Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air kencingnya.

“Ok stop” kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.
“Enak ya?” tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.
“Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi” jawabku tanpa malu-malu, karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai menikmatinya.
“Kalau begitu kamu harus memohon” katanya lagi padaku.
“Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu” sahutku dengan cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.
“Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu” katanya.

Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian menelannya.

“Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam” katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka ikatan pada tangan dan kakiku.

Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang menendang testisku dengan perlahan.

“Mau tidur sampai kapan hah!” bentaknya garang.

Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang menambah “kegarangannya”. Yang paling menonjol adalah pada bagian depan celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.

Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang terbuat dari kayu berbentuk huruf “X” yang pada saat itu tidak kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf “X”, terikat di benda itu.

Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.

“Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara” kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.

Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja. Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.

“Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh” jeritku memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.

Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.

“Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5 pukulan” kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit. Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak henti-hentinya berdengung.

“Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat 20 pukulan mengerti?” lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah kepalaku untuk mengiyakan.
“Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu” ibu Anna berkata sambil membuka ikatan pada kaki dan tanganku.

Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya. Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.

“Waktu kamu 5 menit” kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.

Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.

Ke bagian 4

Me and My Teacher – 4

Ibu Anna kemudian membawaku masuk ke dalam kamar tidurnya. Secara sekilas aku sempat melirik ke jam dinding yang terdapat di ruangan itu, yang ternyata baru menunjukan pukul 8 malam, padahal sebelumnya kupikir saat ini sudah hampir tengah malam. Dengan setengah menyeret, ibu Anna kemudian membawaku ke dalam kamar mandi yang terdapat di dalam ruangan itu. Kemudian aku perintahkan untuk duduk di kloset.

Setelah itu, ibu Anna langsung menyalakan shower dan menyiram tubuhku. Hampir saja aku menjerit jika tidak sempat kutahan. Tubuhku menggeliat menahan perih ketika air mulai mengenai kulitku yang lecet-lecet. Kemudian dengan tidak mengatakan apa-apa, ibu Anna memberikan sebatang sabun mandi padaku. Jika saja aku tidak takut pada hukuman, tentunya pada saat itu aku enggan untuk menggunakan sabun mandi, karena tentunya akan perih jika mengenai bekas cambukannya di tubuhku.

Dengan menggigit bibir menahan sakit, aku dengan cepat menyabuni tubuhku, terutama bagian dada yang dada yang kulihat tidak terdapat bekas pukulan disana. Secara tiba-tiba, ibu Anna kemudian merampas sabun itu dari tanganku, kemudian dengan kedua tangannya, ia menyabuni bagian rambut kemaluanku. Aku terkejut dengan perbuatannya yang tiba-tiba itu, dengan mata melotot aku melihat bagaimana dengan lembut ibu Anna “mengeramasi” rambut kemaluanku, hingga tanpa dapat kutahan penisku mulai bereaksi terhadap rangsangan tersebut. Sampai seluruhnya tertutup busa barulah ibu Anna menghentikan pekerjaannya, kemudian dia membuka sebuah lemari kaca kecil yang tertempel di tembok kamar mandi itu. Tangannya kemudian mencari-cari sesuatu dalam lemari itu, dan tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk menemukan benda yang dicarinya.

Benda itu ternyata adalah pisau cukur. Begitu melihatnya aku sudah bisa menebak apa yang akan ibu Anna perbuat padaku nantinya. Dan benar saja, dalam beberapa detik kemudian, tangan-tangan mungilnya dengan cekatan mencukur rambut kemaluanku (yang pada saat itu sudah tumbuh lebat). Penisku yang tadinya sudah setengah tegang, kini langsung menciut setelah merasakan tajamnya pisau cukur itu, sedang jantungku berdebar-debar menyaksikan penggundulan hutan itu. Tak memerlukan waktu lebih dari 2 menit buat ibu Anna untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Setelah di basuh dengan air untuk membersihkan sisa-sisa sabun, aku dapat melihat penisku yang sekarang tampak seperti penis milik seorang bocah, bersih tanpa rambut selembarpun. Dengan lembut ibu Anna kemudian meraba-raba kulit yang sebelumnya masih di tumbuhi rambut itu, wajahnya menunjukan ekspresi kepuasan atas hasil kerjanya. Dan entah bagaimana mengungkapkannya, selama sebulan ini, aku sering berada dalam keadaan bugil di depan ibu Anna. Kini entah bagaimana, aku merasa keadaanku lebih telanjang dari sebelumnya. Ini adalah hal yang harus kalian alami sendiri barulah tahu bagaimana rasanya.

Ibu Anna tidak lantas berhenti sampai disana, berikutnya adalah giliran kedua ketiakku yang dicukurnya hingga bersih. Kini boleh dibilang selain wajahku, di tubuhku tidak terdapat rambut lain. Setelah itu barulah ibu Anna menggunakan handuk untuk mengeringkan tubuhku. Tubuhku yang tadinya lengket karena keringat yang mengering, kini kembali menjadi segar setelah mandi.

Setelah itu ibu Anna memerintahkanku untuk berdiam dalam posisi merangkak di lantai kamar mandi, agak sedikit kesulitan aku melakukannya karena kedua tanganku yang terikat. Kemudian aku merasa ada sesuatu yang ditempelkan di lubang anusku, ketika aku menoleh untuk menegok, aku melihat ibu Anna memegang selang air yang ujungnya ditempelkan tepat di lubang anusku. Aku agak panik dengan apa yang akan dilakukannya, tanpa terasa pinggulku bergerak untuk menghindari selang itu.

“Diam! Kalau nggak mau 20 kali cambukan, jangan bergerak sedikitpun” bentaknya melihat gelagatku.

Bagaikan tersihir, tubuhku langsung diam mematung. Setelah itu barulah ibu Anna memutar keran air yang terhubung ke selang itu. Detik berikutnya aku langsung merasakan air dingin menerobos lubang anusku. Aku tidak merasakan sakit, hanya saja perasaan tidak nyaman serta perasaan takut dengan hal yang baru pertama kalinya kualami ini, pada saat itu aku tidak tahu bahwa hal itu (enema) adalah hal biasa dalam permainan seks bdsm. Perutku yang sebelumnya sudah menggembung karena kekenyangan, kini mendapat tekanan tambahan akibat air didalam usus besarku. Tanpa dapat kutahan tubuhku gemetar menahan perasaan kembung seakan perutku akan meledak, juga dingin yang terasa didalam perutku.

“Tahan! Kalau sampai tumpah sedikit saja, mulut kamu yang bertanggung jawab” ancamnya padaku setelah melihat tubuhku yang gemetaran. Untung saja tak lama sesudah berkata demikian, ibu Anna segera mematikan kerannya.
“Saya beri kamu lima menit untuk urusan kamu” kata ibu Anna tiba-tiba, dan langsung saja ia meninggalkanku sendirian di dalam kamar mandi itu.

Tanpa membuang waktu aku berdiri, membuka penutup kloset dan langsung duduk. Membutuhkan waktu cukup lama untuk mengeluarkan seluruh isi usus besarku itu. Semenit setelah aku selesai melakukannya barulah ibu Anna kembali ke dalam kamar mandi itu. Begitu masuk, ia langsung menghampiriku yang masih terduduk diam. Tangannya mengocok perlahan penisku yang sudah kembali ke bentuk asalnya, dan wow aku merasa begitu sensitif karena sentuhan perlahan saja sudah memberikan reasksi pada penisku. Setelah sudah benar-benar ereksi, ibu Anna dengan tiba-tiba menghentikan pekerjaannya.

“Apa kamu kira penis kamu itu ada gunanya?” kata ibu Anna padaku dengan sinis.

Aku hanya terdiam saja mendengar perkataannya. Seperti biasa, ibu Anna tidak akan memberikanku kepuasan pikirku.

“Sekarang kamu oral penis ini” kata ibu Anna sambil menunjuk ke penis buatan yang tertempel di celana dalamnya itu.

Dengan terkejut aku menatap wajahnya, seperti ingin memastikan apa yang barusan kudengar.

“Terserah kamu mau melakukannya apa tidak, asal kamu tahu saja, kalau penis ini masuk ke anus kamu dengan keadaan kering seperti ini, anus kamu tidak sobek saja sudah bagus” kata ibu Anna membalas tatapan mataku.

Mendengar hal itu seperti orang linglung, aku menatap matanya dengan mulut menganga, tidak percaya dengan hal yang barusan kudengar. Dengan hati menclos aku kemudian melihat ke arah “penis” ibu Anna itu. Penis itu benar-benar mirip sekali dengan penis asli, lengkap dengan topi baja serta urat-urat yang menonjol di sekelilingnya sedangkan ukurannya jauh melebihi penisku yang pada saat itu masih ereksi. Ukurannya sama saja dengan penis yang terdapat dalam film-film porno keluaran vivid itu.

Yang menjadi masalah adalah aku yakin kalau diriku ini bukan gay dan hal ini menurutku menjijikan. Aku menelan ludah ketakutan membayangkan bagaimana jadinya jika monster penis itu benar-benar masuk ke anusku. Sementara itu ibu Anna sepertinya sudah tidak sabar ingin melakukannya, dia memberikan perintah agar aku berbalik. Mendengar perkataannya, dengan terburu-buru aku segera memasukan penis itu ke dalam mulutku. Ini toh penis buatan pikirku pada saat itu. Dengan cepat aku mengulum penis itu sehingga hampir saja aku tersedak. Pada saat itu aku tidak melihat wajah ibu Anna, tapi dapat kupastikan wajahnya pasti tersenyum sinis melihat aku melakukannya.

Tidak ada hal yang membuatku meragukan ucapan ibu Anna untuk memasukan penis itu ke dalam anusku, karena itu sebisanya aku membasahi seluruh permukaan penis itu dengan ludah agar dapat berfungsi sebagai pelumas saat nanti memasuki lubang anusku. Selang semenit kemudian aku merasakan ada sesuatu yang salah dari tubuhku, entah bagaimana aku mulai menikmati pekerjaanku itu. Untung saja penisku memang sebelumnya sudah ereksi, karena jika tidak, ibu Anna pasti melihat penis kecil yang menegang ketika pemiliknya sedang mengoral penis buatan yang ukurannya hampir 2 kali lipatnya.

“Sudah” kata ibu Anna dengan perlahan.

Aku pura-pura tidak mendengarkan perkataannya yang memang pelan sekali itu, disamping aku merasa masih belum cukup aman jika penis itu masuk ke lubang anusku, aku juga tanpa sadar menikmati perbuatanku.

“Cukup” katanya sekali lagi, kali ini aku mendengar dengan jelas perkataannya.

Aku segera menghentikan pekerjaanku. Dengan segera aku diperintahkan untuk berbalik. Kini aku membelakangi ibu Anna, tubuhku membentuk sudut 90 derajat dengan kedua tangan menumpu pada plastik penutup kloset. Aku memejamkan mataku menanti dengan was-was. Sedetik kemudian aku merasakan sakit sekali ketika kepala penis ibu Anna mencoba memasuki lubang anusku, dengan reflek lubang anusku menutup sehingga kepala penis yang tadinya sudah masuk setengah keluar lagi, aku menggigit bibirku menahan perih yang ditinggalkannya.

“Kamu harus tenang kalau tidak mau terluka” kata ibu Anna kepadaku.

Enak baginya bicara demikian karena ia tidak merasakannya. Namun kucoba turuti sarannya, aku mengambil nafas panjang untuk menenangkan jantungku yang berdegub kencang. Kembali aku merasakan perih ketika ada benda tumpul yang ingin menerobos lubang anusku. Segera aku mendapat perasaan seperti ingin buang air besar. Kali ini kedua tangan ibu Anna membantu merenggangkan kedua belah pantatku sehingga lubang anusku terbuka lebih lebar. Setelah itu dengan cepat kepala penisnya masuk.

Aku menjerit tertahan dan tanpa sengaja lubang anusku kembali berkontraksi, namun kali ini penis itu tidak keluar dari lubang anusku karena tangan ibu Anna menahannya, malahan akulah yang merasakan sakit di dinding anusku karena hal itu. Setelah itu dengan cepat penis itu menerobos masuk makin dalam. Tubuhku gemetar menahan perih yang seakan menjalar ke seluruh tubuhku. Dengan sebisanya aku menahan untuk tidak menjerit, sedangkan air mata sudah mengambang di kedua mataku.

Kini kedua telapak tangan ibu Anna digunakan untuk memukul-mukul pantatku dengan setengah kekuatannya sambil tak henti-hentinya dia tertawa sinis melihat penderitaanku. Pukulan di pantatku memang bisa dibilang tidak ada artinya di banding sakit karena penis itu, namun aku takut jika nantinya bisa-bisa penis itu kembali keluar dari lubang anusku karena terganggu oleh pukulan-pukulan itu, dan benar saja sesaat kemudian tanpa dapat kutahan, dinding anusku kembali berkontraksi, aku sudah bersiap-siap menahan perih akibat itu.

Tapi ternyata dugaanku salah, penis itu masih tenang-tenang saja di dalam, nampaknya sudah hampir semua bagian penis itu yang masuk didalam, agak lega juga hatiku setelah merasa demikian. Ketika aku menengok untuk memastikannya barulah aku terkejut setengah mati setelah mendapati bahwa baru sekitar setengah bagian penis itu saja yang sudah memasuki lubang anusku.

Ke bagian 5

Me and My Teacher – 5

Dapat kulihat senyum puas ibu Anna melihat wajah menderitaku. Dalam sekejab aku merasakan sudah tidak mempunyai harga diri lagi setelah ibu Anna memperlakukanku demikian, namun dalam hati aku memohon agar ibu Anna tidak mempunyai pikiran untuk memasukan seluruh bagian penis itu. Aku kemudian melihat tangan ibu Anna mengambil sebuah botol baby oil dan menuangkan isinya ke penisnya serta ke daerah sekitar lubang anusku. Pada saat itu aku sangat jengkel sekali, ingin rasanya aku berteriak “kenapa nggak dari tadi aja!” namun kubatalkan karena takut nanti malah berakibat fatal pada diriku.

Sesaat kemudian aku merasakan ibu Anna mulai kembali mendorong penisnya yang kini sudah dilumuri baby oil. Aku dapat merasakan bantuan minyak itu dalam mengurasi sakit akibat gesekan, meskipun masih terasa sedikit sakit, namun kini sudah jauh berkurang. Kini yang kurasakan adalah betapa penis itu memenuhi ruang di rectum (bagian terluar dari usus besar) ku. Sedang tadi ketika penis itu masuk baru setengah saja aku sudah merasa begitu “penuh”, apalagi sekarang ketika sudah hampir seluruhnya masuk. Seakan-akan ada sesuatu yang ingin keluar dari kerongkonganku, walaupun aku tahu itu hanya perasaanku saja.

Tak lama kemudian aku dapat merasakan paha ibu Anna yang menyentuh pahaku, tanda sudah masuknya seluruh bagian penis itu. Pada saat itu mulutku menganga lebar sedang nafasku teregah-engah seperti orang yang mau melahirkan, bahkan tubuhku sempat gemetar tak terkendali. Setelah aku mengatur nafas sejenak barulah aku mulai kembali tenang. Sesaat kemudian, ibu Anna mulai menggerakkan maju-mundur penis itu dengan perlahan. Rasa malu dan takut bercampur aduk di hatiku pada saat itu, malu karena aku serasa diperkosa oleh ibu Anna dan takut jika penis besar itu akan melukaiku dengan parah.

Dengan perlahan namun pasti, ibu Anna mulai menaikan temponya, sesekali dia berhenti untuk kembali melumuri penis itu dengan baby oil sampai penis itu benar-benar bisa sliding dengan mudah. Dan kembali aku dikhianati oleh tubuhku sendiri. Meski dengan susah payah aku mencoba menahannya, namun tetap saja aku tidak berhasil, penisku dengan perlahan mulai ereksi, apalagi kemudian ibu Anna kembali mempercepat pompaannya yang memang terasa nikmat sekali buatku. Tanpa dapat kulawan, penisku kembali full ereksi, bahkan jika tidak kutahan-tahan, ingin sekali rasanya aku mengocok penisku.

Kini ibu Anna merubah gayanya, ia menarik penisnya dengan perlahan sampai hampir keluar, kemudian memasukannya kembali dengan cepat sampai setengahnya dan demikian seterusnya. Sensasi yang kurasakan sungguh dahsyat, seandainya aku mengocok penisku pastilah aku sudah ejakulasi. Aku sendiri menjadi heran dan dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku ini memang seorang gay? Tiba-tiba saja sebuah pikiran terlintas dalam benakku. Aku kemudian berpura-pura untuk kesakitan setiap kali ibu Anna menyodok penisnya, hal ini kulakukan karena aku sungguh malu jika ibu Anna mengetahui aku justru menikmati perbuatannya padaku. Entah karena aktingku yang buruk atau memang ibu Anna yang tidak mudah ditipu.

“Jangan pura-pura kamu” kata ibu Anna padaku.

Setelah itu dengan tiba-tiba ia menyodok penisnya sampai pahanya beradu dengan pahaku sehingga menimbukan bunyi “plok”.

“Aaahh” jeritku lirih. Itu jelas-jelas jeritan kenikmatan yang tanpa sadar kukeluarkan.
“Dasar nggak tahu malu” kata ibu Anna lagi padaku.

Jika saja pada saat itu aku menoleh kebelakang, ibu Anna akan melihat wajahku yang merah padam karena malu. Sesudah itu, kembali ibu Anna mempercepat temponya, dan kembali tanpa tertahan lagi aku mendapatkan kenikmatan yang selama ini belum pernah kurasakan. Kini setelah ibu Anna mengetahui rahasiaku, aku merasa tidak ada gunanya lagi untuk berpura-pura, aku mulai dengan perlahan ikut menggerakkan pantatku mengimbangi gerakannya, serta mulutku tak henti-hentinya mengeluarkan rintihan kenikmatan. Sesekali ibu Anna menghentikan gerakannya, pada saat itulah tanpa rasa malu, aku justru menggerakan pantatku memompa penis itu. Ibu Anna tertawa terbahak-bahak setiap kali aku melakukannya, apalagi setelah ibu Anna memegang penisku, ia mendapatinya sudah benar-benar tegang.

“Dasar banci!, kamu malah horny waktu dientot” katanya dengan pedas. Katanya sambil tangannya menepuk pantatku.
“Benar-benar menjijikan” sambungnya mengejekku. Sambil tak henti-hentinya dia mengeluarkan kata-kata hinaan yang menyakitkan. Pada saat itu aku merasa terhina sekaligus terangsang mendengar caciannya.

Beberapa menit kemudian, ibu Anna menarik penisnya hingga hampir keluar dari lubang anusku. Tanpa sadar aku memundurkan pantatku agar penisnya tidak keluar, kemudian dengan gerakan perlahan, ibu Anna berjalan mundur. Aku tahu ini dimaksudkan agar aku mengikutinya. Aku hampir saja terjerembab ke depan setelah kedua tanganku yang terikat, tidak lagi mempunyai tempat tumpuan, namun dengan sigap ibu Anna memegang kedua pinggulku agar aku tidak terjatuh. Dapat kurasakan kedua tangannya yang halus menahan berat tubuhku, dalam hati aku heran juga bagaimana caranya wanita yang dari luar tampak anggun ini bisa mempunyai tenaga yang lumayan kuat. Kemudian dengan perlahan aku mencoba meletakkan tanganku di lantai, karena tubuhku boleh dibilang lentur, berkat sering bermain sepakbola, dengan mudah aku dapat melakukannya. Dan dengan keadaan demikianlah kami secara perlahan berjalan keluar dari kamar mandi itu.

Sesampainya di tepi ranjang, ibu Anna membantuku untuk berbaring telentang di tengah-tengah ranjang itu, sedangkan dia kini berada diatas tubuhku, kami melakukannya tanpa membuat penis itu keluar dari tempatnya. Kedua tangannya menggenggam kedua pergelangan kakiku kemudian merentangkan keduanya, setelah itu dengan perlahan kedua kakiku didorongnya hingga lututku hampir menyentuh dadaku yang mengakibatkan bagian pinggang kebawah terangkat ke atas. Sesudah itu, ibu Anna kembali memompa penisnya dengan perlahan dalam lubang anusku. Setelah beberapa saat lamanya, ibu Anna mempercepat pompaannya. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan saat itu, namun jelas itu adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa.

“Mana suaranya?” tanya ibu Anna sambil mempercepat pompaannya. Dengan suara perlahan aku merintih-rintih kenikmatan.
“Yang kenceng! perek” bentak ibu Anna gusar, sambil dengan tiba-tiba dia menghujamkan penisnya dalam-dalam.
“Aaahh” jeritku tak dapat menahan sensasi yang kualami.

Ibu Anna terus memompa dengan kencang, sampai-sampai terdengar bunyi beradunya paha ibu Anna dengan pantatku. Aku terus-terusan menjerit histeris seperti layaknya pelacur setelah menerima kenikmatan yang bertubi-tubi. Inilah kali pertamanya dalam hidupku, aku mengalami kenikmatan yang begitu intens. Meskipun baru pertama kalinya aku melakukan seks seperti itu, namun aku dapat mengatakan dengan pasti jika ibu Anna benar-benar ahli dalam hal itu. Terkadang ibu Anna memperlambat, kemudian mempercepat pompaannya dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian ibu Anna berhenti secara tiba-tiba sehingga membuatku menjerit-jerit frustasi akibat ulahnya.

“Kamu harus memohon” katanya sambil menahan tawa melihat tingkahku yang seperti pelacur murahan.
“Please bu” kataku dengan terengah-engah.
“Please apa?” katanya lagi padaku.
“Please bu.. Saya mohon ibu melakukannya” kataku dengan lemah.
“Melakukan apa?” tanyanya lagi seakan masih tidak puas mendengar ucapanku. Aku terdiam sejenak untuk berpikir kata apa yang akan kugunakan untuk menjawabnya.
“Senggama” jawabku setelah berpikir.
“Dasar kontol, lu kira sekarang ini lagi belajar bahasa indonesia hah!, bilang ngentot” kata ibu Anna dengan gusar mendengar jawabanku yang memang konyol itu.
“Saya mohon ibu Anna ngentotin saya” kataku tanpa malu-malu lagi setelah tersiksa dengan kenikmatan yang kini tertunda.
“Ngentotin apa kamu?” kembali dengan menjengkelkan, ibu Anna bertanya padaku.
“Lubang anus saya” jawabku cepat.
“Untuk selanjutnya bilang vagina, ngerti?” kata ibu Anna setelah mendengar ucapanku. Aku segera mengiyakan perkataannya.
“Sekarang bilang yang lengkap” katanya padaku sambil tangannya merenggangkan kakiku lebih lebar lagi, dan menarik penisnya sehingga tinggal ujungnya saja yang masih tertanam dalam “memekku”.

“Saya mohon ibu mau ngengtotin vagina saya” kataku padanya cepat karena khawatir ibu Anna akan berubah pikiran.
“Yang keras” sahut ibu Anna mendengar perkataanku.
“Saya mohon ibu mau ngentotin vagina saya” jawabku setengah berteriak karena frutasi.

Aku sudah tidak peduli jikalau ada orang yang mendengar perkataanku itu, sekarang ini sudah tidak ada logika dalam kepalaku, yang ada hanyalah nafsu birahi. Sedetik kemudian, dengan cepat ibu Anna menghujamkan penisnya sampai pangkalnya.

“Aaahh” jeritku panjang merasakan nikmat dan perih yang menjadi satu.

Setelah diam dalam posisi demikian sejenak, kemudian barulah dia mulai menggerakan pinggulnya memompa penisnya didalam memekku. Dengan konstan, ibu Anna mempercepat pompaannya sampai sesaat kemudian dia sudah mencapai kecepatan maksimal. Derit ranjang serta derai keringat yang jatuh ke tubuhku seakan menjadi bukti liarnya permainan kami. Belum pernah penisku sedimikian tegangnya dalam hidupku sebelumnya, sampai-sampai terasa nyeri akibat banyaknya darah yang terkumpul disana. Setelah sekitar semenit ibu Anna memompaku dengan kecepatan luar biasa, dengan tiba-tiba dia kembali menghujamkan penisnya dalam-dalam, dan tahu-tahu saja aku merasa ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam tubuhku.

“Aaahh” jeritku dengan kencang ketika penisku sudah tidak tahan lagi untuk melepaskan sperma yang sudah lama terkumpul di testisku.

Dengan kencang, spermaku menyembur keluar mengenai perutku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengalami ejakulasi meskipun aku sama sekali tidak menyentuh penisku. Setelah itu gelombang demi gelombang kenikmatan menjalar diseluruh bagian tubuhku, sehingga tanpa dapat kutahan tubuhku gemetar karena menahan nikmat. Mataku kupejamkan untuk lebih menikmati moment itu, moment terindah dalam hidupku saat itu. Ini adalah orgame yang terhebat dalam hidupku.

“Menjijikan” kata ibu Anna sambil menarik keluar penisnya dan melepaskan kedua pergelangan kakiku yang dipegangannya.

Selang beberapa saat kemudian barulah aku mulai dapat menguasai diriku. Aku merasa kosong sekali setelah penis itu meninggalkan tempatnya, seakan perutku tadi dibelit ikat pinggang yang kencang, dan sekarang sudah dilepaskan. Ketika kubuka mataku, kulihat ibu Anna sudah berada di sebelahku. Tangannya memegang sendok plastik, dan dengan benda itu, ibu Anna menyendoki seluruh sperma di perutku.

“Bangun” kata ibu Anna padaku.

Dengan malas aku mencoba untuk menegakkan tubuhku. Hampir seluruh bagian tubuhku terasa lemah, padahal bisa dibilang sedari tadi ibu Anna lah yang bekerja. Sesaat kemudian aku sudah duduk tegak di ranjang, kulihat ibu Anna menuangkan sperma yang tadi di tampungnya di sendok ke penisnya dengan merata.